Investasi
modal masyarakat terutama generasi Y saat ini dirasakan kurang dan cukup
kontras dengan investasi pasar modal yang terjadi dilapangan , bahkan boleh
terbilang investasi yang dilakukan masih sangat konvensional dengan hanya
sekedar menabung di bank. Padahal Generasi Y terkenal cukup up to date dengan
informasi yang sekarang ini bisa dijangkau dari smart phone.
Generasi
Y adalah generasi yang lahir di antara tahun 1982 -1997, di Indonesia sendiri
ada sekitar 50 juta penduduk yang masuk dalam kategori ini. Ciri ciri utama
dari generasi Y adalah sangat mengerti dan mengandalkan teknologi, usia yang
sangat produktif dan juga usia dimana biasanya sedang dalam memulai sebuah
keluarga. Generasi Y inilah yang dalam tahun tahun mendatang akan menduduki
kelas dengan pendapatan menengah ke atas dikarenakan usia produktif mereka.
Berdasarkan
data dari Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI) jumlah investor reksa
dana di Indonesia masih sangat minim yaitu sekitar 161 ribu investor dengan
dana kelolaan sekitar Rp181.11 trilliun di akhir tahun 2012. Jumlah dana
kelolaan ini tidak sebanding dengan dana masyarakat di perbankan yang mencapai
3.205 trilliun rupiah per akhir 2012. Jika membandingkan jumlah penduduk
generasi Y yang mencapai 50 juta dengan 161 ribu investor, angka investor reksa
dana Indonesia ini baru mencapai 0.32% dari total keseluruhan generasi Y.
Ternyata
masih banyaknya orang orang yang termasuk dalam kategori generasi Y yang sama
sekali belum paham atau mungkin belum tergerak terhadap berbagai macam
instrumen pasar modal yang ada di Indonesia dan bagaimana mengakses investasi
ini. Padahal jika hanya mengandalkan tabungan yang ada di bank dan dibandingkan
dengan inflasi yang terjadi di perekonomian Indonesia, tabungan tersebut tidak
akan terlalu menghasilkan tingkat pengembalian yang maksimal.
Sejumlah
hal diduga menjadi penyebab keenganan masyrakat luas, terutama generasi Y untuk
berinvestasi di pasar modal. Satu pengetahuan terhadap instrumen investasi
pasar modal yang minim,mungkin mereka mengetahui apa itu saham, reksa dana
ataupun obligasi tetapi mereka tidak mengetahui bagaimana mekanisme instrumen
investasi ini dan dimana mengakses informasi instrumen investasi tersebut, dan
juga kurang agresifnya pendekatan dari perusahaan perusahaan yang bergerak di
investasi pasar modal dalam mengsosialisasikan informasi ke semua lapisan
masyarakat.
Alasan
Kedua adalah adalah biasanya mereka lebih cenderung tertarik untuk mencoba
berinvetasi setelah salah satu dari lingkaran pertemanan ataupun asosiasi
mereka telah mencoba untuk berinvestasi dan terbukti telah menghasilkan
keuntungan yang lebih daripada sekedar menabung di bank. Skeptisme masyrakat
juga turut memberikan kontribusi negatif terhadap instrumen investasi pasar
modal yang dinilai tidak aman dan juga maraknya kasus penipuan yang terjadi.
Padahal
jika generasi Y ini mencoba berinvestasi di instrumen seperti obligasi pemerintah
dengan tingkat pengembalian yang terbilang lebih tinggi daripada bunga deposito
di bank. Adapun contoh salah satu obligasi yang ditawarkan pemerintah adalah
ORI005 dengan tingkat pengembalian 11.45% dengan minimum investasi Rp5 juta
Rupiah, boleh dibilang investasi obligasi ORI ini bebas resiko dikarenakan
penjaminan dari pemerintah.
Untuk
Reksa Dana sendiri pun bisa dicocokan dengan karakter investor misalnya jika
investor berani mengambil resiko tinggi maka bisa direkomendasikan untuk
mengambil reksa dana saham, dan sebaliknya jika investor lebih kearah
konservatif maka bisa di rekomendasikan untuk mengambil reksa dana pendapatan
tetap.
Reksa
Dana saham memberikan tingkat pengembalian sekitar 16.76% per tahun jika dirata
rata untuk seluruh reksa dana saham yang ditawarkan ke masyarakat Indonesia,
sedangkan reksa dana pendapatan tetap memberikan tingkat pengembalian sekitar
rata rata 11.39% per tahun. Tentunya tingkat pengembalian ini lebih tinggi
ketimbang mendepositokan dana di bank dengan tingkat pengembalian rata rata
sekitar 5% per tahun (data diambil dari infovesta.com).
Sementara
itu Pihak regulator pasar modal juga semakin mengetatkan dalam menerapkan
peraturan terhadap perusahaan pengelola dana investasi ini sehingga terjadinya
penipuan bisa dhindari semaksimal mungkin dan juga meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap instrumen investasi selain tabungan di bank. Adapun salah
satu peraturan dari Bapepam LK tentang keterbukaan nilai aktiva bersih dari
reksda dana untuk dipublikasikan setiap hari tertulis di Peraturan IV.C.3,
Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-08/PM/1997 tanggal 30 April 1997.
Diperlukannya
Informasi yang jelas tentang investasi pasar modal terhadap semua lapisan
masyrakat terutama generasi Y inilah yang harus digenjot oleh para instansi
yang menyediakan investasi pasar modal yang sesuai dengan karakter investor.
Logikanya semakin tingginya inflasi dan juga kebutuhan hidup maka kita harus
semakin cerdik dalam mengembangkan investasi dari dana yang kita miliki.
Selamat berinvestasi !
[ Giovany Lukman ]
Sumber: http://www.infovesta.com/infovesta/artikel
Menakar Optimisme di Tahun 2014
Terbit Senin, 27-Jan-2014 di Koran
Investor Daily
Mengakhiri tahun 2013, investasi di pasar modal
Indonesia tampaknya belum memberikan kinerja yang menggembirakan di mana
pencapaian indeks indeks pasar saham melalui Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
berakhir di zona merah -0,98% di akhir 2013. Begitu juga dengan pasar obligasi,
terutama Surat Utang Negara (SUN) melalui indeks yang dibuat oleh Infovesta,
yakni Infovesta Government Bond Index (IGBI) juga mengalami tekanan cukup berat
dengan kinerja -5,17% sepanjang periode yang sama.
Jika dilihat, pergerakan kinerja pasar modal
domestik sepanjang tahun lalu tampaknya terbagi menjadi 2 masa, yakni kejayaan
dan kelesuan. Masa kejayaan tersebut terjadi sepanjang semester I-2013 di mana
angka IHSG pun sempat mencetak rekor tertinggi baru dalam sejarah di 5.214,976
per 20 Mei tahun lalu dengan kinerja Year to Date (YTD) saat itu mencapai
20,81%. Bahkan, dari 9 sektor saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia
(BEI), 2 sektor di antaranya seperti Properti & Real Estate serta Barang
Konsumen sukses mencetak kinerja di atas 30% dalam waktu kurang dari 6 bulan.
Begitu juga dengan kinerja indeks pasar Obligasi SUN melalui IGBI yang masih
mencatat angka positif di periode yang sama.
Namun, masa kelesuan mulai datang ketika
guncangan dari berbagai sentimen negatif terjadi di awal semester II-2013
sekaligus membuat kinerja investasi kian menyusut dan berakhir di zona merah.
Hal tersebut dapat terlihat pada perbandingan kinerja di bursa saham untuk
semester I dan II, masing-masing 11,63% dan -11,30%. Artinya, tekanan yang
cukup kuat di semester II-2013 membuyarkan impian kinerja pasar saham untuk
mendapatkan angka positif atau bahkan jauh dari rekor tertinggi.
Mengulas singkat pada penyebab guncangan di pasar
modal domestik diperkirakan dari 2 sumber, yakni internal dan eksternal. Sumber
internal tentu seperti yang kita sudah amati di mana inflasi tahunan mengalami
lonjakan yang cukup signifikan menembus 8% per Juli 2013 setelah harga Bahan
Bakar Bersubsidi (BBM) akhirnya disesuaikan naik. Tambah lagi, tren pelemahan
kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat (AS) yang terus berlangsung hingga
menembus ke atas Rp10 ribu di tengah bayang-bayang defisit neraca perdagangan
dan tergerusnya cadangan devisa ke bawah $100 milar semakin memperburuk
sentimen pasar.
Sementara sumber eksternal yang memiliki pengaruh
cukup dominan, yakni kekhawatiran atas rencana bank sentral AS, The Federal
Reserve (The Fed), yang memangkas stimulus program Quantitative Easing (QE)
tahap 3 di kisaran $10-$15 miliar meskipun kondisi perekonomian AS yang belum
sepenuhnya mengalami pemulihan. Tambah lagi, kabar perlambatan ekonomi China di
semester I-2013 akibat ketidakpastian prospek ekonomi global juga dikhawatirkan
mempengaruhi ekonomi negara-negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia.
Kedua sentimen di atas tersebut pun turut
mempengaruhi dana investor asing yang mengalir keluar cukup deras di pasar
saham yang mana sepanjang 2013 rekapitulasi transaksi investor asing secara
akumulatif mencatat penjualan bersih (net sell) sebesar Rp25,90 triliun atau
terdalam selama 8 tahun terakhir. Bila diamati secara bulanan, pola net sell
investor asing sepanjang tahun lalu yang signifikan sudah terlihat sepanjang
Mei 2013 sebesar Rp7,78 triliun atau tampak mengantisipasi potensi dari
berbagai sentimen negatif di semester II-2013. Sementara kondisi berbeda
terjadi di pasar SUN di mana justru mengalami kenaikan sebesar Rp53,13 triliun
sepanjang tahun 2013 menjadi Rp323,65 triliun.
Nah, memasuki awal 2014 tampaknya banyak
spekulasi apakah tahun ini berpeluang membaik atau justru masih terlihat suram
di tengah pesimisme terhadap prospek pemulihan ekonomi global meskipun sudah
ada perbaikan pada sejumlah indikator ekonomi negara-negara maju, seperti AS
dan Uni Eropa. Berkaca pada kinerja historis selama 20 tahun terakhir, IHSG
cenderung memiliki potensi menguat jika terjadi koreksi lebih dari 10% selama
kurun waktu 6 bulan terakhir. Artinya, masih ada harapan kinerja positif di
tahun 2014 setelah mengalami kelesuan di semester II-2013.
Yang jadi pertanyaan, seberapa besar harapan
tersebut? Jawabannya terdapat pada bagaimana prospek makroekonomi global dan
domestik serta faktor-faktor lain di luar pasar modal yang diperkirakan juga
dapat memberikan dampak. Untuk ekonomi global diperkirakan mengalami pemulihan
meskipun belum signifikan. Hal itu terlihat pada proyeksi oleh Bank Dunia untuk
pertumbuhan di tahun 2014 dan 2015, masing-masing 3,2% dan 3,4%. Sejumlah
alasan yang mendasari, seperti membaiknya perekonomian global yang ditopang
dari pemulihan ekonomi negara maju, seperti AS dan Uni Eropa serta pertumbuhan
ekonomi China yang berhasil bangkit dari perlambatan. Meskipun demikian,
tantangan yang masih harus dihadapi, seperti potensi kelanjutan pengurangan
kucuran stimulus (tapering off) dari The Fed jika ekonomi AS terus membaik
serta dampaknya kepada negara-negara berkembang.
Sementara ekonomi domestik juga tampak mulai
membaik. Beberapa indikator seperti laju inflasi tahunan yang diperkirakan
melambat. Nilai tukar pun juga diperkirakan mengalami penguatan didukung
membaiknya data neraca perdagangan yang terlihat kembali surplus sejak Oktober
2013 dan cadangan devisa yang berpeluang kembali menembus di atas $100 miliar.
Dengan demikian, paling tidak ada harapan penyesuaian terhadap suku bunga acuan
agar lebih mendorong ekspansi ekonomi sekaligus menjadi katalis positif bagi
investasi di pasar modal domestik.Mengenai dampak momentum Pemilihan Umum
(Pemilu) yang dilaksanakan di kuartal II dan III tahun ini, tampaknya bisa
menjadi segar terhadap kinerja investasi di Pasar Modal. Sebagai contoh, di
sepanjang 3 momentum pemilu pada tahun 1999, 2004, dan 2009 kinerja investasi
di pasar Saham masing-masing justru mengalami penguatan masing-masing 70,06%,
44,56%, dan 86,98%. Hal yang sama juga terjadi pada pasar SUN melalui IGBI pada
tahun 2004 dan 2009 yang juga menguat masing-masing 21,49% dan 15,99%.
Seiring prospek pemulihan ekonomi meskipun secara
perlahan serta sentimen dari kebijakan moneter yang bisa menopang, kinerja
investasi di pasar Saham dan Obligasi SUN di tahun ini juga memberikan
ekspektasi kinerja yang relatif menarik. Di pasar saham melalui IHSG, penulis
memperkirakan target wajar di level 4.890 atau potential upside 14,4% dibanding
penutupan akhir tahun lalu dengan asumsi Price Earnings Ratio (PER) wajar di
level 14,4 kali serta ekspektasi pertumbuhan laba bersih 16,13%. Sementara
untuk IGBI yang mencerminkan kinerja investasi di pasar SUN memiliki ekspektasi
kinerja 7,74% sepanjang 2014. Hal tersebut ditopang oleh tren imbal hasil
(yield) SUN tenor 10 tahun yang terlihat menurun setelah sempat menembus 9% dan
kepemilikan asing di SUN kembali mencetak rekor tertinggi di level Rp328
triliun per 17 Januari 2014.
Pada investasi Saham, terdapat sejumlah sektor
saham yang bisa dicermati, yakni Barang Konsumen, Media Iklan, Semen, Farmasi,
dan Jalan Tol. Sejumlah katalis yang mendasari di antaranya seperti ekspektasi
membaiknya kondisi makroekonomi domestik, seperti laju inflasi yang
diperkirakan mulai terkendali, dukungan pemerintah pada proyek infrastruktur
untuk menopang pertumbuhan ekonomi, peningkatan kebutuhan obat-obatan seiring
pembentukan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), serta momentum Pemilu yang berpotensi
mendorong peningkatan belanja konsumsi, termasuk di media iklan.
Berbekal harapan positif di tahun 2014, investor
pun memiliki peluang mencapai kinerja portofolio investasi yang lebih baik
dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pemilihan selektif pada fundamental
emiten harus tetap menjadi fokus utama. Happy Investing!
[ Praska Purtrantyo ]