Selasa, 03 Februari 2015

2015;INDONESIA DIKUASAI ASING
"This is your opportunity!"ucap Jokowi kepada asing secara berulang
        Wahai orang-orang Indonesia bersiaplah menjadi budak di negara sendiri karena posisi penting di BUMN kemungkinan akan diisi oleh orang asing. Masa kepemimipinan Jokowi-JK akan menempatkan orang asing dalam posisi strategis di kursi manajemen BUMN.
        Kabar ini pertama kali santer diberitakan oleh Menteri BUMN Rini Soemarno. "Bisa saja orang asing jadi Bos BUMN.Tetapi kita ambil dari dalam terlebih dahulu,"dalam jumpa pers di Kantor kementrian BUMN, Jakarta, Senin 15/12/2014)
        Ia beralasan bahwa pemilihan direksi BUMN harus melihat persaingan di dunia global saat ini.Apalagi Indonesia bakal menghadapi pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Dan ini merupakan langkah penting dalam ekspansi BUMN diluar negeri.
        "Kita pakai headhunter untuk mencari direktur atau calon yang memang memiliki kompetensi untuk itu,"ucapnya.Ia memandang pemasaran BUMN diluar masih lemah, untuk itu BUMN harus memiliki direktur yang mampu memiliki kompetensi di pasar internasional.
         Selaras dengan hal tersebut Presiden Jokowi menyampaikan keinginannya. "Kita ingin memperbaiki BUMN, dalam rangka perbaikan itu banyak jalan yang ditempuh saya belum dapat usulannya(Menteri BUMN),"kata Jokowi singkat, usai tanya jawab dengan kepala daerah dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019, di Jakarta Kamis (18/12/2014)

Undang Investor Asing

          Dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, Presiden Jokowi tak segan-segan berbagai proyek kepada asing. Di sejumlah lawatannya di luar negeri, Jokowi menawarkan proyek-proyek infrastruktur antara lain rel kereta api, jalan tol, bandara, dan pelabuhan.
          Hal ini disampaikan Jokowi di Forum Perdagangan Investasi dan Ekonomi Indonesia-China di Beijing, China,  Infrastucture Summit di Bali dan KTT G-20 di Brisbane, Australia."This is your opportunity!" begitulah pernyataan Jokowi berulang-ulang.

Ingkar Janji

          Padahal dalam janji kampanye Jokowi dalam sebuah kesempatan mengatakan perlu untuk memberikan batasan-batasan agarcalon investor asing tidak mudah masuk ke Indonesia. Menurutnya, langkah ini penting dilakukan dalam menghadapi ASEAN Economic Community 2015 nanti.
          "Pasar Domestik jangan dimasuki dari luar, caranya seperti apa, hal-hal berkaitan dengan perizinan misalnya, daerah harus berikan kecepatan kalau itu investor lokal, domestik. tapi kalau dari luar, nggak apa-apalah disulit-sulitin ," kata Jokowi dalam Acara debat capres/cawapres di Hotel Gran Media, Jakarta, Minggu(15/06/2014) seperti dikutip Kompas.com.
           

Rabu, 08 Oktober 2014

Pengenalan Dini Investasi Pasar Modal Di kalangan Generasi Baru


Investasi modal masyarakat terutama generasi Y saat ini dirasakan kurang dan cukup kontras dengan investasi pasar modal yang terjadi dilapangan , bahkan boleh terbilang investasi yang dilakukan masih sangat konvensional dengan hanya sekedar menabung di bank. Padahal Generasi Y terkenal cukup up to date dengan informasi yang sekarang ini bisa dijangkau dari smart phone.

Generasi Y adalah generasi yang lahir di antara tahun 1982 -1997, di Indonesia sendiri ada sekitar 50 juta penduduk yang masuk dalam kategori ini. Ciri ciri utama dari generasi Y adalah sangat mengerti dan mengandalkan teknologi, usia yang sangat produktif dan juga usia dimana biasanya sedang dalam memulai sebuah keluarga. Generasi Y inilah yang dalam tahun tahun mendatang akan menduduki kelas dengan pendapatan menengah ke atas dikarenakan usia produktif mereka.

Berdasarkan data dari Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI) jumlah investor reksa dana di Indonesia masih sangat minim yaitu sekitar 161 ribu investor dengan dana kelolaan sekitar Rp181.11 trilliun di akhir tahun 2012. Jumlah dana kelolaan ini tidak sebanding dengan dana masyarakat di perbankan yang mencapai 3.205 trilliun rupiah per akhir 2012. Jika membandingkan jumlah penduduk generasi Y yang mencapai 50 juta dengan 161 ribu investor, angka investor reksa dana Indonesia ini baru mencapai 0.32% dari total keseluruhan generasi Y.

Ternyata masih banyaknya orang orang yang termasuk dalam kategori generasi Y yang sama sekali belum paham atau mungkin belum tergerak terhadap berbagai macam instrumen pasar modal yang ada di Indonesia dan bagaimana mengakses investasi ini. Padahal jika hanya mengandalkan tabungan yang ada di bank dan dibandingkan dengan inflasi yang terjadi di perekonomian Indonesia, tabungan tersebut tidak akan terlalu menghasilkan tingkat pengembalian yang maksimal.

Sejumlah hal diduga menjadi penyebab keenganan masyrakat luas, terutama generasi Y untuk berinvestasi di pasar modal. Satu pengetahuan terhadap instrumen investasi pasar modal yang minim,mungkin mereka mengetahui apa itu saham, reksa dana ataupun obligasi tetapi mereka tidak mengetahui bagaimana mekanisme instrumen investasi ini dan dimana mengakses informasi instrumen investasi tersebut, dan juga kurang agresifnya pendekatan dari perusahaan perusahaan yang bergerak di investasi pasar modal dalam mengsosialisasikan informasi ke semua lapisan masyarakat.

Alasan Kedua adalah adalah biasanya mereka lebih cenderung tertarik untuk mencoba berinvetasi setelah salah satu dari lingkaran pertemanan ataupun asosiasi mereka telah mencoba untuk berinvestasi dan terbukti telah menghasilkan keuntungan yang lebih daripada sekedar menabung di bank. Skeptisme masyrakat juga turut memberikan kontribusi negatif terhadap instrumen investasi pasar modal yang dinilai tidak aman dan juga maraknya kasus penipuan yang terjadi.

Padahal jika generasi Y ini mencoba berinvestasi di instrumen seperti obligasi pemerintah dengan tingkat pengembalian yang terbilang lebih tinggi daripada bunga deposito di bank. Adapun contoh salah satu obligasi yang ditawarkan pemerintah adalah ORI005 dengan tingkat pengembalian 11.45% dengan minimum investasi Rp5 juta Rupiah, boleh dibilang investasi obligasi ORI ini bebas resiko dikarenakan penjaminan dari pemerintah.

Untuk Reksa Dana sendiri pun bisa dicocokan dengan karakter investor misalnya jika investor berani mengambil resiko tinggi maka bisa direkomendasikan untuk mengambil reksa dana saham, dan sebaliknya jika investor lebih kearah konservatif maka bisa di rekomendasikan untuk mengambil reksa dana pendapatan tetap.

Reksa Dana saham memberikan tingkat pengembalian sekitar 16.76% per tahun jika dirata rata untuk seluruh reksa dana saham yang ditawarkan ke masyarakat Indonesia, sedangkan reksa dana pendapatan tetap memberikan tingkat pengembalian sekitar rata rata 11.39% per tahun. Tentunya tingkat pengembalian ini lebih tinggi ketimbang mendepositokan dana di bank dengan tingkat pengembalian rata rata sekitar 5% per tahun (data diambil dari infovesta.com).

Sementara itu Pihak regulator pasar modal juga semakin mengetatkan dalam menerapkan peraturan terhadap perusahaan pengelola dana investasi ini sehingga terjadinya penipuan bisa dhindari semaksimal mungkin dan juga meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap instrumen investasi selain tabungan di bank. Adapun salah satu peraturan dari Bapepam LK tentang keterbukaan nilai aktiva bersih dari reksda dana untuk dipublikasikan setiap hari tertulis di Peraturan IV.C.3, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-08/PM/1997 tanggal 30 April 1997.

Diperlukannya Informasi yang jelas tentang investasi pasar modal terhadap semua lapisan masyrakat terutama generasi Y inilah yang harus digenjot oleh para instansi yang menyediakan investasi pasar modal yang sesuai dengan karakter investor. Logikanya semakin tingginya inflasi dan juga kebutuhan hidup maka kita harus semakin cerdik dalam mengembangkan investasi dari dana yang kita miliki. Selamat berinvestasi !

[ Giovany Lukman ]

 

Sumber:  http://www.infovesta.com/infovesta/artikel

 

 

Menakar Optimisme di Tahun 2014

Terbit Senin, 27-Jan-2014 di Koran Investor Daily

Mengakhiri tahun 2013, investasi di pasar modal Indonesia tampaknya belum memberikan kinerja yang menggembirakan di mana pencapaian indeks indeks pasar saham melalui Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona merah -0,98% di akhir 2013. Begitu juga dengan pasar obligasi, terutama Surat Utang Negara (SUN) melalui indeks yang dibuat oleh Infovesta, yakni Infovesta Government Bond Index (IGBI) juga mengalami tekanan cukup berat dengan kinerja -5,17% sepanjang periode yang sama.

Jika dilihat, pergerakan kinerja pasar modal domestik sepanjang tahun lalu tampaknya terbagi menjadi 2 masa, yakni kejayaan dan kelesuan. Masa kejayaan tersebut terjadi sepanjang semester I-2013 di mana angka IHSG pun sempat mencetak rekor tertinggi baru dalam sejarah di 5.214,976 per 20 Mei tahun lalu dengan kinerja Year to Date (YTD) saat itu mencapai 20,81%. Bahkan, dari 9 sektor saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), 2 sektor di antaranya seperti Properti & Real Estate serta Barang Konsumen sukses mencetak kinerja di atas 30% dalam waktu kurang dari 6 bulan. Begitu juga dengan kinerja indeks pasar Obligasi SUN melalui IGBI yang masih mencatat angka positif di periode yang sama.

Namun, masa kelesuan mulai datang ketika guncangan dari berbagai sentimen negatif terjadi di awal semester II-2013 sekaligus membuat kinerja investasi kian menyusut dan berakhir di zona merah. Hal tersebut dapat terlihat pada perbandingan kinerja di bursa saham untuk semester I dan II, masing-masing 11,63% dan -11,30%. Artinya, tekanan yang cukup kuat di semester II-2013 membuyarkan impian kinerja pasar saham untuk mendapatkan angka positif atau bahkan jauh dari rekor tertinggi.

Mengulas singkat pada penyebab guncangan di pasar modal domestik diperkirakan dari 2 sumber, yakni internal dan eksternal. Sumber internal tentu seperti yang kita sudah amati di mana inflasi tahunan mengalami lonjakan yang cukup signifikan menembus 8% per Juli 2013 setelah harga Bahan Bakar Bersubsidi (BBM) akhirnya disesuaikan naik. Tambah lagi, tren pelemahan kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat (AS) yang terus berlangsung hingga menembus ke atas Rp10 ribu di tengah bayang-bayang defisit neraca perdagangan dan tergerusnya cadangan devisa ke bawah $100 milar semakin memperburuk sentimen pasar.

Sementara sumber eksternal yang memiliki pengaruh cukup dominan, yakni kekhawatiran atas rencana bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), yang memangkas stimulus program Quantitative Easing (QE) tahap 3 di kisaran $10-$15 miliar meskipun kondisi perekonomian AS yang belum sepenuhnya mengalami pemulihan. Tambah lagi, kabar perlambatan ekonomi China di semester I-2013 akibat ketidakpastian prospek ekonomi global juga dikhawatirkan mempengaruhi ekonomi negara-negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia.

Kedua sentimen di atas tersebut pun turut mempengaruhi dana investor asing yang mengalir keluar cukup deras di pasar saham yang mana sepanjang 2013 rekapitulasi transaksi investor asing secara akumulatif mencatat penjualan bersih (net sell) sebesar Rp25,90 triliun atau terdalam selama 8 tahun terakhir. Bila diamati secara bulanan, pola net sell investor asing sepanjang tahun lalu yang signifikan sudah terlihat sepanjang Mei 2013 sebesar Rp7,78 triliun atau tampak mengantisipasi potensi dari berbagai sentimen negatif di semester II-2013. Sementara kondisi berbeda terjadi di pasar SUN di mana justru mengalami kenaikan sebesar Rp53,13 triliun sepanjang tahun 2013 menjadi Rp323,65 triliun.

Nah, memasuki awal 2014 tampaknya banyak spekulasi apakah tahun ini berpeluang membaik atau justru masih terlihat suram di tengah pesimisme terhadap prospek pemulihan ekonomi global meskipun sudah ada perbaikan pada sejumlah indikator ekonomi negara-negara maju, seperti AS dan Uni Eropa. Berkaca pada kinerja historis selama 20 tahun terakhir, IHSG cenderung memiliki potensi menguat jika terjadi koreksi lebih dari 10% selama kurun waktu 6 bulan terakhir. Artinya, masih ada harapan kinerja positif di tahun 2014 setelah mengalami kelesuan di semester II-2013.

Yang jadi pertanyaan, seberapa besar harapan tersebut? Jawabannya terdapat pada bagaimana prospek makroekonomi global dan domestik serta faktor-faktor lain di luar pasar modal yang diperkirakan juga dapat memberikan dampak. Untuk ekonomi global diperkirakan mengalami pemulihan meskipun belum signifikan. Hal itu terlihat pada proyeksi oleh Bank Dunia untuk pertumbuhan di tahun 2014 dan 2015, masing-masing 3,2% dan 3,4%. Sejumlah alasan yang mendasari, seperti membaiknya perekonomian global yang ditopang dari pemulihan ekonomi negara maju, seperti AS dan Uni Eropa serta pertumbuhan ekonomi China yang berhasil bangkit dari perlambatan. Meskipun demikian, tantangan yang masih harus dihadapi, seperti potensi kelanjutan pengurangan kucuran stimulus (tapering off) dari The Fed jika ekonomi AS terus membaik serta dampaknya kepada negara-negara berkembang.

Sementara ekonomi domestik juga tampak mulai membaik. Beberapa indikator seperti laju inflasi tahunan yang diperkirakan melambat. Nilai tukar pun juga diperkirakan mengalami penguatan didukung membaiknya data neraca perdagangan yang terlihat kembali surplus sejak Oktober 2013 dan cadangan devisa yang berpeluang kembali menembus di atas $100 miliar. Dengan demikian, paling tidak ada harapan penyesuaian terhadap suku bunga acuan agar lebih mendorong ekspansi ekonomi sekaligus menjadi katalis positif bagi investasi di pasar modal domestik.Mengenai dampak momentum Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilaksanakan di kuartal II dan III tahun ini, tampaknya bisa menjadi segar terhadap kinerja investasi di Pasar Modal. Sebagai contoh, di sepanjang 3 momentum pemilu pada tahun 1999, 2004, dan 2009 kinerja investasi di pasar Saham masing-masing justru mengalami penguatan masing-masing 70,06%, 44,56%, dan 86,98%. Hal yang sama juga terjadi pada pasar SUN melalui IGBI pada tahun 2004 dan 2009 yang juga menguat masing-masing 21,49% dan 15,99%. 

Seiring prospek pemulihan ekonomi meskipun secara perlahan serta sentimen dari kebijakan moneter yang bisa menopang, kinerja investasi di pasar Saham dan Obligasi SUN di tahun ini juga memberikan ekspektasi kinerja yang relatif menarik. Di pasar saham melalui IHSG, penulis memperkirakan target wajar di level 4.890 atau potential upside 14,4% dibanding penutupan akhir tahun lalu dengan asumsi Price Earnings Ratio (PER) wajar di level 14,4 kali serta ekspektasi pertumbuhan laba bersih 16,13%. Sementara untuk IGBI yang mencerminkan kinerja investasi di pasar SUN memiliki ekspektasi kinerja 7,74% sepanjang 2014. Hal tersebut ditopang oleh tren imbal hasil (yield) SUN tenor 10 tahun yang terlihat menurun setelah sempat menembus 9% dan kepemilikan asing di SUN kembali mencetak rekor tertinggi di level Rp328 triliun per 17 Januari 2014.

Pada investasi Saham, terdapat sejumlah sektor saham yang bisa dicermati, yakni Barang Konsumen, Media Iklan, Semen, Farmasi, dan Jalan Tol. Sejumlah katalis yang mendasari di antaranya seperti ekspektasi membaiknya kondisi makroekonomi domestik, seperti laju inflasi yang diperkirakan mulai terkendali, dukungan pemerintah pada proyek infrastruktur untuk menopang pertumbuhan ekonomi, peningkatan kebutuhan obat-obatan seiring pembentukan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), serta momentum Pemilu yang berpotensi mendorong peningkatan belanja konsumsi, termasuk di media iklan.

Berbekal harapan positif di tahun 2014, investor pun memiliki peluang mencapai kinerja portofolio investasi yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pemilihan selektif pada fundamental emiten harus tetap menjadi fokus utama. Happy Investing!

[ Praska Purtrantyo ]